PROFIL

Thursday, April 6, 2017

APA YANG TERJADI PADA POLARISASI KELOMPOK DI NKRI ?


Setelah melewati konsolidasi politik yang relatif  berhasil  (2015-2016) dengan mencairnya antara kubu KIH ( Koalisi Indonesia Hebat ) dan KMP ( Koalisi Merah Putih ) dan pindahnya PAN dan PPP serta Partai Golkar ke Jokowi - rupanya gerakan politik  melaju ke arah polarisasi yang mensinyalkan fenomena kembalinya Demokrasi Terpimpin. Tanda-tanda itu kian menampakkan sosoknya, terlepas Demokrasi Terpimpin ala Soekarno maupun Soeharto kendati dibungkus dengan istilah Demokrasi Pancasila. 



Semua orang yang melek politik pasti mengetahui, bahwa pragmatisme Orde Baru yang dilandasi ideologi " nasionalisme   birokratik -militerisme " seakan bangun dari kematian surinya. Permainan politiknya bukan tidak mungkin ikut mendorong terjadinya polarisasi: Di satu sisi menyatunya kaum nasionalis ( kanan yang Jawa dan kiri serta militer didukung Islam non politik ) menghadapi Islam politik dengan dukungan dari sementara kaum tehnokrat berorientasi Barat. Di luar itu berkecamuk pula kekuataan lainnya, antara lain Islam transnasional antara lain Hizbut Tahrir, kendati amat sangat kecil dengan ideologi khilafah. Situasi dan kondisi polarisasi membawa turbulensi politik yan jika tidak diatasi, dikawatirkan akan berpengaruh buruh terhadap masa depan NKRI. 

Bukan ingin membawa persoalan ini kearah mistifikasi yang nyatanya pernah melewati di beberapa negara yang terkait dengan usia kemerdekaan negaranya. Sebutlah, Amerika Serikat ketika menginjak usia 70 tahun kemerdekaannya   mengalami perang saudara ( Utara  yang non rasis -  Selatan yang rasisme ), begitupun Perancis dan paling tragis adalah Uni Sovyet sebagai hasil Revolusi Bolsyevik 1 Oktober 1917 itu pada 1989/1990 bubar, terpecah berkeping-keping menjadi antara lain Chehnya, Tajikistan, Uzbezkistan yang kembali ke Islam. 

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI ) yang mulai 2015 hingga 2017, baru memasuki ulangtahun kemerdekaan 70an. Mulai 2015, hawa politik republik muda ini, kian memanas. Pemilihan presiden 2014 ....dan hasil-hasilnya tak surut dengan konflik tak henti-hentinya, ditengah situasi dan kondisi keuangan negara semakin tidak menggembirakan. Pengampunan pajak diluncurkan, hutang ke pihak asing ( khususnya RRC ) membesar dengan jaminan tiga Bank Pemerintah kita. Korupsi menggila, tata kelola negara memburuk dan Pilkada Jakarta jangan-jangan menjadi penyulutnya. 

Demokrasi dituduh kebablasan, Amien Rais disalahkan ( dituduh mengacak-acak UUD  1945 yang dianggap oleh kalangan nasionalis militeristik dan nasionalis kanan/Jawa seperti " sesuatu yang sakral ", padahal para pembuatnya malah wanti-wanti silakan dibuat baru, karena UUD 1945 sebelum diamandemen itu diakui belum sempurna sebagai UUD yang Kilat dalam suasana ketergesa-gesaan revolusioner ) dan umat Islam terbelah mengikuti keterbelahan kaum nasionalis menjadi yang kiri, kanan, nasionalis korporatis militeristik dan berbau fasistis.

Dalam sebuah percakapan di sebuah saluran televisi swasta nasional, Eva Sundari dari PDIP terus terang mengakui, bahwa demokrasi dan Pancasila zaman Pak Harto itu tidak berbeda dengan zaman Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno. Sama-sama menggunakan remote control, tertib dan hanya saja di zaman Pak Harto nasionalis  kiri atau komunis yang adaptif terhadap konflik kultural internal Jawa dan Jawa dilawankan Melayu disimpan. 

Melihat peristiwa politik sepanjang hampir tiga tahun ini, lebih-lebih pada keakraban Partai Golkar ( dan pecahannya HANURA, NASDEM dan lainnya ) dengan PDIP yang mewarisi ideologi nasionalis Jawa ala Soekarno, agaknya jarum jam sejarah akan diketahui diputarnya, sudah dapat diduga kemana arahnya. Sama-sama ingin mengembalikan ke Demokrasi Terpimpin terbitan kedua kali, sekaligus mengakhiri UUD 1945 hasil reformasi. Amien Rais kemudian menjadi musuh bersama mereka yang ingin menyingkirkan Islam politik dan pendukungnya, yakni Islam.moderbis, sosial demokrqt dan teknokrat yang selama ini berorientasi ke Barat. Jawa lama dihidupkan, Jawa Baru yang menerima Islam, Melayu diringgalkan.
radiopanjakarta/jsp.

No comments:

Post a Comment