Status dan perannya kini, Jakarta yang berstatus Provinsi Daerah Khusus ibukota memang khas dan tentu berbeda dengan 33 provinsi lainnya.
Mengalami perubahan legalitas sejak berstatus kotapraja dengan Walikota pertamanya Sudiro, Suwiryo, Syamsurizal, hingga memasuki status provinsi dengan sekian gubernur silih berganti, dimulai Soemarno, Ali Sadikin yang fenomenal, Tjokropranolo, Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suryadi Sudirja, Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo berhenti ditengah jalan jadi presiden dan diganti secara administratif ( meneruskan, bukan pilihan ) oleh Basuki Cahaya Purnama.
Begitupun seperti gubernur lainnya, kini Gubernur DKI Jakarta dipilih langsung oleh rayat dalam Pemilihan Kepala Daerah, tidak seperti sebelum reformasi yang hanya dipilih tidak langsung ( dipilih oleh para anggota DPRD Prov DKI Jkt dengan otoritas yang lebih kuat di tangan Presiden Soekarno dan Soeharto waktu itu ).
Jakarta adalah barometer politik dan ekonomi nasional ; pusat pemerintahan dan pengambilan keputusan serta kebijakan eksekutif, legislatif serta legislatif.
Di kota ini berhimpun aneka ragam penduduk dari berbagai suku dan kebangsaan, agama dan ras. Dari 250/juta penduduk Indonesia, 10 juta jiwa menghuni Jakarta yang hanya seluas 660 kilometer persegi. Suku bangsa Jawa paling banyak ( 3, 5 juta ) menyusul Betawi 2, 7 juta, Sunda 1,5 juta, Batak 375 ribu yang hampir jumlahnya dengan Minang, kemudian disusul Madura, Bugis, Aceh, Komering, Ambon, Banjar dan launnya se Indonesia terwakili, begitu juga Tionghoa 650 ribu jiwa.
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Jakarta ( 85,5 % ), diikuti Kristen ( 7,5 % ), Budha ( 3,3 % ) Katholik ( 3,2 % ) Hindu, Khonghucu dan kepercayaan lainnya.
Jakarta memegang kekuatan ekonomi yang mendominasi perputaran ekonomi nasional sampai 70 %. Pertumbuhan ekonominya kini 6,5 % lebih tinggi 1,2 % ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional. Dilihat dari PDB, Jakarta menyumbang sampai 17 % dari PDB nasional. Tak aneh APBD Provinsi DKI Jakarta mencapai Rp. 70,191 trilyun paada 2017 ini.
Di hadapan kemegahan finansial dan fisik kotanya, Jakarta dilekati masalah kronis macet dan banjir serta kerawanan kependudukannya. Urbanisasi kian menyesakkan Jakarta dan membebani APBD nya. Meskipun pendapatan per-kapita mencapai Rp.195 juta, namun ketimpangan penghasilannya mengkawatirkan dilihat dari ketimpangan serta kemiskinan masih tinggi. Rasio gininya 0, 43 menunjukkan kerawanan sosial.mengancam, ditambah daya dukung ruang terbuka hijau jauh dari 30. % ( baru 9 ,11 % - 11 % ). Pengangguran terbuka masih tinggi dan justru masih terus dibanjiri urbanisasi. Di tengah kesumpekannya, penduduk Jakarta suka berkicau di twitter dan pengguna gadget yang setara dengan kota-kota besar dunia, semisal Shanghai, Bangkok, Kualalumpur.
Infrastruktur seperti jalan layang dan bawah tanah, MRT, LRT terus dikebut menjelang Asian Games 1918, yang bersamaan dengan itu dilebarkan dan dibaguskan trotoar , ruang terbuka hijau terus di tambah, pelayanan komuter dan transjakarta ditingkatkan mutu pelayanan dan jangkaun jumlahnya ditambah. Penduduk miskin atau dan tidak.mampu diringankan dengan KJP, KJS dan fasilitas kesehatan diperluas.
Kemajuan fisik.mulai tampak, sungai bertambah kebersihannya, kebersiha lingkungan tiap keluarahan di tingkatkan dengan kehadiran PPSU. Sungai dinormalisasi, rumah susun di bamgun di setiap.pelosok kota.
Ads kemajuan. Ada harapan. Namun, kenapa Ahok -Jarot sang paslon Gubernur yang petahana ini terancam oleh saingannya Anies- Sandi. Dari tujuh lembaga survey , ternyata enam diantaranya telah bersaksi: Anies - Sandi lebih unggul sedikit, tipis. Peluang salinf menyalip terbuka.
Jakarta sedang menanti Gubernur dan Wakilnya : Baru atau petahana melanjutkannya. Tunggulah pilhan rakyat dalam hanya tiga hari ke depan ini.
radiopanjakarta/jsp
No comments:
Post a Comment