Jakarta, radiopanjakarta
Mampukah kita hidup sendiri ? Tentu kita akan segera menjawab: Tidak mungkin. Selain manusia selalu ingin berkumpul, saling memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam interaksi dan interrelasinya, ternyata dalam sejarahnya manusia juga saling ingin menguasai. Kepemimpinan menjadi tuntutan sosiologis yang dipenuhi konflikdan menemukan atau berakhir pada konsensus, begitu seterusnya. peradaban berjalan, nilai dan norma diciptakan, cita- cita selalu diperbarui. Perubahan adalah kebadian di dalamnya.
Sunnatullah membawa kepada fitrah kemanusiaannya, bahwa sebuah keberlanjutan eksistensinya tidak bisa meninggalkan nilai-nilai kebajikan. Lahir di sana tokoh-tokoh peradaban sebelum abad Masehi dimulai, sebutlah Aristoteles, Plato ( 427 - 437 SM ). Dari nilai yang dipergulatan filsafat mereka itulah, politik dilahirkan. Dasar-dasar politik kemudian dibangun. Seiring dengan takdir manusia sebagai makhluk politik, panggilan untuk berkumpul dan saling berinteraksi, berkembanglah ruang peradaban yang berkelas dan merupakan pembeda dalam status dan peran. Polis (kota, negara) terbentuk menjadi wahana kebudayaan berproses dalam merangkai peradaban.
Politik menghendaki terbangunnya keadilan dan kesejahteraan umum. Aristoteles menyebutnya politik meraih kebaikan utama. Al Farabi meneruskan pandangan pendahulunya itu di saat Islam naik ke panggung peradaban dunia: Politik itu ruang berkeadaban (Al Madinah Al Fadhilah ) pada bad 10, Ketika dunia Barat sedang dilanda peradabannya yang gelap, sejarah memberitahukan bahwa Islam telah membanjiri Eropah dan Dunia dengan nilai-nilai politik : Musyawarah, keadilan sosial ekonomi, keterbukaan, toleransi beragama, nalar kepemimpinan berupa empat prinsip yakni SHIDIQ, AMANAH, TABLIGH dan FATHONAH. Implementasi prinsip tersebut dipraktekkan Rasulullah Muhammad saw kedalam PIAGAM MADINAH ( 620 M ).
Dalam perkembangan gagasan dan jalan pencapaiannya, kita kemudian mengenal ideologi-ideologi dunia, baik yang menyandarkan pada individualisme-liberalisme, komunisme sebagai kritik terhadap
anak kandung liberalisme yang bernama kapitalisme - termasuk demokrasi di dalamnya- sebagai antithesis absolutisme kekuasaan ditssangan seorang raja dengan feodalismenya yang ditopang Gereja dan kekuatan bersenjata di bawah sang Raja. Negara adalah saya( L'etat C'est Moi )
tersungkur dilindas revolusi atas dasar Kebebasan Persamaan dan Persaudaraan ( Liberte, Egalite dan Fraternite ),di abad 18. Revolusi Perancis membangunkan kesadaran bahwa kekuasaan itu bukan dari seseorang, bahkan Tuhan sekalipun. Kekuasaan itu berasal dari rakyat, oleh dan untuk rakyat....dikembangkan di Ameerika oleh antara lain oleh Abraham Lincoln.
Di awal abad 20 demokrasi melanda dunia, menghampiri di negeri-negeri jajahan Barat, termasuk Indonesia. Alat perjuangan yang mengandalkan kekuatan fisik, berganti methode pergerakan ke medan organisasi politik melalui dunia jurnalistik cetak dan pengerahan massa, rapat-rapat umum. Kita tak mungkin melupakan Tirtoadhisuryo yang membimbing H Samanhudi, Tjokroaminoto dengan Sarikat Islam. Kaum ppribumi dengan ke Jawaan didikan Barat ( Belanda ) mendirikan Budi Utomo. Bagai jamur di musim hujan, lahir pula Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya yang ingin menegakkan Islam di tengah gempuran pendidikan sekuler pada kaum priyayi terdidik.
Pergolakan di dua dekade awal abad 20, tak terbendung melalui Jakarta,Bandung,Yogyakarta-Surakarta dan Surabaya. Politik memprimadona dan menemukan puncak didihnya di saat dunia diguncang Perang Dunia 2, jagat politik Indonesia menemukan momentumnya, dengan tokoh-tokoh
pergerakan menyatukan diri, diantaranya yang tersohor adalah Soekarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka yang melanglangbuana di Eropa dan penyamarannya baik di dalam maupun luar negeri. Pada kurun perdebatan paham atau ideologi dunia tersebut di atas, tercetus ide politik cemerlang dari Soekarno yakni Pancasila sebagai sinthesinya atas pertarungan yang diinginkan menjadi keselarasan : Pancasila. Itulah nilai-nilai politik yang telah disepakati bangsa dan negara menjadi titik temu dan titik tujuan bersama.
Dalam nilai Pancasila itulah,kita dihadapkan pada pertanyaan, sejauh mana keterlibatan rakyat sebagai individu berpolitik dalam paham demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjadi salah -satu sila Pancasila. Kebutuhan akan pentingnya kehadiran institusi untuk menjamin pencapaian nilai-nilai kebijakan itu ( Robert Dahl, 1999), maka Mohamad Hatta pasangan proklamator bersama Bung Karno memaknai : Demokrasi tidak cukup diartikan dengan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, ....tetapi harus disertaitanggungjawab dan toleransi, karena demokrasi baru bisa jalan jika ada toleransi dan tanggungjawab.
Para pemikir tentang politik berpengharapan besar akan adanya tatanan kemasyarakatan dan kenegaraaan yang menghendaki keterlibatan rakyat di dalam proses politik. Namun keterlibatan itu akan gagal jika syarat-syarat infrastruktur ( partai politik dan organisasi sayapnya serta organisasi massa yang suka tergoda berpolitik ) dan suprastruktur ( kelembagaan legislatif dan eksekutif ) yang baik dan benar tidak terpenuhi, termasuk partisipasi politik yang rendah akibat taraf kemajuan ekonomi rakyat belum memadai, pendidikan formal yang belum merata kualitas dan kuantitasnya. Selain itu, mensyaratkan pula terbangunnya institusi politik yang demokratis. Artinya, kata Sutan Syarir: Parpol yang diharapkan membawa perubahan untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan , jangan sampai disandera oleh oligarki partai itu seendiri".
LEGALITAS DAN REALITAS
No comments:
Post a Comment