Jakarta - Radio Pan Jakarta, ingin melanjutkan tulisan terdahulu
sebagaimana judul di atas yang disadari belum selesai. Belum mencapai tingkat
praksis sehari-hari yang menempatkan kata "p o l i t i k" menjadi
sasaran kebencian, hujatan dan sebisa mungkin dihindari, bahkan dijauhi untuk
terlibat di dalamnya. Baiklah, kita harus mengetahui apa yang kita atau publik
ingin mengetahui keberadaan politik dalam praktek penyelenggaraan negara dan
pemerintahan maupun mengapresiasi partisipasi masyarakat.
Sudah semestinya, politik bukan semata urusan elit dan kian
elitis. Politik bertujuan mendorong setiap orang sebagai anggota masyarakat dan
sekaligus warganegara untuk semakin dewasa. Artinya, baik sebagai individu
maupun kelompok ikut-serta dalam proses pembuatan keputusan Negara di setiap tingkatan ( Pusat
,Provinsi,Kota/Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan bahkan hingga RT/RW). Bisa
langsung jika berkedudukan di lembaga terkait atau tidak langsung melalui politisi yang telah dipilihnya
ataupun lewat tekanan public di media dan petisi lembaga keswadayaan masyarakat
berbasis apapun.
Sebab, ketika
demokrasi atau kedaulatan rakyat telah menjadi pilihan nilai agar bagaimana
kekuasaan itu dibentuk dan disusun, maka visi dan misi partisipasi menjadi
acuan operasionalisasi oleh segenap
unsur masyarakat yang adalah warganegara itu.Lain halnya jika paham kita
bernegara itu berkiblat kepada yang
bukan demokrasi, semisal komunisme ‘ Apakah itu monarkhi konstitusional semacam
Ingrris atau Jepang; apakah presidensial yang federal model Amerika Serikat
atau unitaris semacam Republik Indonesia, maka demokrasi adalah jalan utama
yang konsekuensinya adalah partisipasi
politik musti diluas dan
diperdalam pemahaman, kemudian setiap
orang menyadari sebagai subyek politik untuk tidak dikelabui atau disandera
oleh politisi keblinger.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45 amandemen) kian tegas
peran keterlibatan politik rakyat sebagai tindak lanjut dari amanat kalimat di
alinea Pembukaan UUD459 ( …setelah menyebut tujuan bernegara…) :” ..maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu Susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ke Tuhanan Yang Maha Esa ..dan
seterusnya yang kemudian dikenal sebagai PANCASILA. Di situlah jelas bahwa
Susunan Negara kita ini dibangun dari,oleh dan dengan demokrasi.
Itulah sumber
konstitusi kita, sumber hokum terkuat dan terpenting bagi eksistensi dan
partisipasi rakyat dalam proses politik ( ..siapa memlih siapa untuk jabatan
politik; apa perintahnya dan siapa yang memerintah kepada siapa…). Selanjutnya,
ditegaskan dalam materi konstitusi, yakni kedaulatan berada di tangan rakyat ( pasal 2 UUD 45 )
dan pelaksanaannya diatur dalam paket UU tentang Pemilu, UU Partai Politik dan
Susunan – Kedudukan Lembaga Legislatif
dan Eksekutif . Pagar kekuasaan ditegaskan lagi bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Hukum (pasal 3 UUD 45.
Jabatan eksekutif tertinggi dalam pasangan Presiden dan
Wakil Presiden- pun musti dipilih langsung ( sebelum diamandemen UUD 45, mereka
dipilih secara tidak langsung melalui MPR ) dapat dibaca pada pasal 6 UUD 45.
Begitupun anggota DPR/DPRD semuanya harus dipilih ( pasal 19 ayat (1) UUD 45) melalui Pemilu
lima tahunan. Bedakan dengan rezim pra reformasi, mereka diangkat semua (Orde
Lama 1959 -1971) dan sebagian diangkat dan sebagian lagi dipilih (Orde Baru
1971-1999) dalam Pemilu “seolah-olah” demokratis.
Derajat partai politik yang pernah Berjaya ( November 1945 – Juli 1959), namun terperosok layu
- kecuali PKI - sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959 hingga 1999 melalui pengkebirian demokrasi dan pemasungan
partai politik , rupanya bangkit lagi dan merajalela sepanjang hamper dua dekade ini. Hal ini terjadi
mengingat legalitas partai politik dalam percaturan kekuasaan Negara dikuatkan :
Setiap anggota DPR/D Provinsi, Kabupaten-Kota harus dipilih melalui
partai politik (pasal 22 E ayat (3) UUD 45 dan Peserta Pemilihan Umum
adalah partai politik, begitu juga Pemilhan Presiden. Sedangkan dalam
Pemilukada, kendati dimungkinkan kepersertaan perorangan, namun partai politik
tetap sebagai “kendaraan” atau melalui partai politik.
Jadilah itu sebagai realitas hokum positif yang menguatkan
keberdayaan partai politik. Eksistensi partai politik menjadi kebutuhan dan terpenuhi oleh konstitusi. Kabar berikutnya
adalah barisan politisi kian panjang dan
mengular yang berhimpun di aneka partai politik
seperti jamur di musim hujan.
Antara Harapan
dan Kenyataan Politik : Memilukan
Struktur
kelembagaan berdasar hokum di
Negara kita yang merupakan idealisasi di atas ternyata menghadapi realitas yang
jauh panggang dari api. Bermasalah juga, rupanya. Bukan saja ditumbuhi praktek politik yang liar dan
menyesatkan, namun sejak awalpun terdapat pendapat yang seakan menyerah kepada
tuntutan sosiologis semata. Padahal, politik dalam nilai dan kelembagaannya dituntut
untuk menghela, merekayasa kearah nilai
“apa yang seharusnya” dan “ status dan
peran Negara” sebagai lembaga yang sudah selayaknya mengemban pencapaian
nilai-nilai itu. Siapa yang memperoleh, kapan dan bagaimana ( Harold Lasswell)
sebuah kebijakan umum diputuskan oleh para politisi dengan kacamata
fungsionalisi politik , tentu akan memicu persaingan dalam peraihan kekuasaan
dengan konflik yang menyertai ( meskipun perolehan konsensus sebagai jeda-nya ).
Konflik, konsensus dan perubahan selalu menyertai proses politik . Di sana
melibatkan berbagai individu dan kelompok yang “berkelahi” saling berebut
kepentingan dengan perjuangan masing-masing. Pertentangan terjadi di tengah perlintasan aspirasi sektoral dan
ego regional, jika sekarang diyakini kian membanjiri proses politik di negeri
ini, maka sesegera mungkin dicari dan diformulakan mekanisme atas kesepakatan bersama.Oleh karena itu
dibutuhkan kesadara politik dan berpolitik
yang baik dan benar; pula, bagaimana para politisi memberdayakan itu semua.
Untuk mengembalikan kepada konstitusi, sebagai rangkaian
nilai di mana kita berdiri dan kemana kita berangkat meraih tujuan bersama,
pernah Bung Karno yang agak kurang sabar terhadap “ kejelimetan “ kaum jurist yang kaku dan
bertele-tele , mengutarakan kritiknya terhadap konstitusi :” Ya, benar
konstitusi kita ialah konstitusi yang dibuat untuk keperluan manusia Indonesia
yang sedang berjuang, dan tidak manusia Indonesia untuk keperluan konstitusi”.
Tentu tidak sepenuhnya pendapat Bung Karno itu salah, karena tuntutan
konstektual semasa era serba revolusioner. Namun desakan realitas terhadap
idealisasi sejumlah keharusan structural akan tidak mungkin dipenuhi begitu
saja, apalagi hokum dan perangkatnya di dalam konstitusi itu memang dibebani
kewajiban membimbing rakyat kearah nilai keadilan, perlindungan hak-hak asasi
manusia, kesejahteraan , perdamaian dunia..dan seterusnya yang di sana
membutuhkan konsistensi ndan sejumlah konsekuensi atas setiap tindakan atau
kebijakan publik yang butuh kebersamaan.
Artinya, jika sebagian besar anggota masyarakat belum
memadai kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara, maka akibatnya
proses politik akan terhambat.Partai politik akan menyesuaikan dengan pasar,
melayani permintaaan atas apapun penawaran. Perlawananterang-terangan dan diam-diam
(apatis) bersama –sama mengacaukan. Simpati, empati dan bermuara pada
partisipasi politik tidak tumbuh, justru
sebaliknya merangsang perlawanan berkat dukungan komunikasdi hoax yang
mendistorsinya.
Di lain sisi, sosialisasi politik kian macet karena
persepsi yang distorsif sebagai akibat
fakta kerusakan politisi dalam menjalankan aktivitasnya. Korupsi meluas dan
mendalam, meringkus para politisi DPR RI dan DPRD bersama politisi eksekutif
dan birokrasi mendukungnya. Kualitas
dan kuantitas tindak pidana
korupsi, bukan saja pada muara kebijakan yang eksekutorial namun juga sudah
dikerjakan pada hulu perumusan rancangan peraturan perundang-undangan. Karena
itulah, tidak aneh bila terjadi jua-beli pasal dan ayat, transasksi dukungan
administratif. Proyek bedebah dan sumpah serapah langsung menyerbu media social
sebagai kanalisasi hak bersuaranya rakyat, tak dapat dicegah lagi.
Kekotoran perbuatan politisi, kini semakin panjang daftar
verifikasi untuk terus dipublikasi. Politik dituduh kotor, jahat ..dan untuk
apa berpolitik ? Harus diakui, bahwa
kekotoran politik dalam praktek memang terjadi sejak perumusan kebiajakan sampai penerapannya di lapangan,
namun adil dan benarkah menuduh
keberadaan politik itu selalu kotor. Kemudian berpolitik itu tidak diperlukan
lagi ? Tegas harus dijawab : T i d a k !!! Mengapa ….karena politik itu netral,
bisa kotor , bisa juga tidak Contoh dari mana politik yang kotor atau tidak
kotor, bisa dicarikan contohnya. Antara lain, mengizinkan pembangunan
mall/hotel/pabrik di Ruang Terbuka Hijau yang telah ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah adalah politik kotor, namun membuka kesempatan kerja atau
modal tanpa membedakan suku,agama,etnisbagi pencari kerja atau modal bagi
usahawan menengah/kecil adalah politik yang tidak kotor. Banyak contoh lainnya
Jadi, politik yang kotor
dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan, norma susila dan
agama. Pendorongnya adalah kerakusan, kkepentingan sesaat demi pribadi atau
kelompok serta gagal memahami keadilan..Oleh karena itu hokum menjadi penting
untuk mencegah dan menindaknya dala upaya penegakan hokum, termasuk sejak hokum
itu dirumuskan dalam pasal dan ayat pada sebuah UU, PP,Perda dan seterusnya.
Dengan demikian inti masalahnya bukan pada politik dan politisinya memang pasti kotor, melainkan adalah pada
kecenderungan akan kotor itu potensial dan laten. Masalah berikutnya adalah
bahwa berpolitik itu bukan serta merta tidak kekanan atau kekiri; memilih atau
tidak memilih, namun keapatisan itu sendiri adalah berpolitik juga akhirnya.
Sikap apatis, putus asa dan mencela ke-kanan, kekiri bukankah juga bersikap yang selemah-lemahnya
sebuah sikap ?
Sampailah pada asumsi: Manusia sebagai zoon politicon
hendaknya dianggap baik ketika masih bayi, tetapi manusia dapat berbuat baik
dapat berbuat buruk ketika beranjak dewasa, apapun latar belakang agamanya,
ras, suku dan status social ekonominya….dari sekedar asumsi “ manusia pada dasarnya baik, tergantung pada
semangatnya saja “. Untuk itulah hokum dibutuhkan. Untuk itu maka politik
bekerjadalam perumusan kebijakan publik dalam mengalokasikan,
mendistribusikannya secara bertahap dan berkelanjutan.
Normatif yang mengharuskan memang tidak mudah menghadapi
sosiogis apa yang senyatanya terjadi. Pasangan ketenteraman dan ketertiban;
kepentingan umum dan pribadi; local, nasional berhadapan dengan globalisasi
yang internasional; kebutuhan kelompok atau partai politik dan nasional yang
melingkupinya seakan dua sisi mata uang
yang saling menggantungkan dan membutuhkan. Pasangan nilai dan aksi yang selalu
tarik menarik dan bersitegangan. Itulah, mengapa akhirnya suatu keseimbangan
memang sebuah pencarian yang tiada berujung.
Kendati seolah tiada berujung, namun siapapun yang hidup
dalam Negara, suka atau tidak, langsung atau tidak langsung, apapun hajat
hidupnya agar terpenuhi, bagaimana dan kapan terpenuhinya, dalam posisi apapun,
dipastikan tidak bisa menghadiri dari camprtangan politik. Pusaran politik tak bisa dihindari ketika sungai kenegaraan
dan kemasyarakatan masih mengalir sampai jauh dilembah dan gunungnya politik berproses menuju lautan peradaban.
(Jsp)
-------------------------------------------
radiopanjakarta--------------------------------------
No comments:
Post a Comment