PROFIL

Sunday, March 12, 2017

POLITIK, PEMILU DAN SIKAP KITA (lanjut....tulisan pertama

Jakarta - Radio Pan Jakarta,  ingin melanjutkan tulisan terdahulu sebagaimana judul di atas yang disadari belum selesai. Belum mencapai tingkat praksis sehari-hari yang menempatkan kata "p o l i t i k" menjadi sasaran kebencian, hujatan dan sebisa mungkin dihindari, bahkan dijauhi untuk terlibat di dalamnya. Baiklah, kita harus mengetahui apa yang kita atau publik ingin mengetahui keberadaan politik dalam praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan maupun mengapresiasi partisipasi masyarakat.

Sudah semestinya, politik bukan semata urusan elit dan kian elitis. Politik bertujuan mendorong setiap orang sebagai anggota masyarakat dan sekaligus warganegara untuk semakin dewasa. Artinya, baik sebagai individu maupun kelompok ikut-serta dalam proses pembuatan keputusan  Negara di setiap tingkatan ( Pusat ,Provinsi,Kota/Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan bahkan hingga RT/RW). Bisa langsung jika berkedudukan di lembaga terkait atau tidak langsung  melalui politisi yang telah dipilihnya ataupun lewat tekanan public di media dan petisi lembaga keswadayaan masyarakat berbasis apapun.



 Sebab, ketika demokrasi atau kedaulatan rakyat telah menjadi pilihan nilai agar bagaimana kekuasaan itu dibentuk dan disusun, maka visi dan misi partisipasi menjadi acuan operasionalisasi oleh segenap  unsur masyarakat yang adalah warganegara itu.Lain halnya jika paham kita bernegara itu berkiblat  kepada yang bukan demokrasi, semisal komunisme ‘ Apakah itu monarkhi konstitusional semacam Ingrris atau Jepang; apakah presidensial yang federal model Amerika Serikat atau unitaris semacam Republik Indonesia, maka demokrasi adalah jalan utama yang konsekuensinya adalah partisipasi  politik  musti diluas dan diperdalam pemahaman, kemudian  setiap orang menyadari sebagai subyek politik untuk tidak dikelabui atau disandera oleh politisi keblinger.


Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45 amandemen) kian tegas peran keterlibatan politik rakyat sebagai tindak lanjut dari amanat kalimat di alinea Pembukaan UUD459 ( …setelah menyebut tujuan bernegara…) :” ..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar  Negara  Indonesia yang terbentuk dalam suatu  Susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ke Tuhanan Yang Maha Esa ..dan seterusnya yang kemudian dikenal sebagai PANCASILA. Di situlah jelas bahwa Susunan Negara kita ini dibangun dari,oleh dan dengan demokrasi.


Itulah  sumber konstitusi kita, sumber hokum terkuat dan terpenting bagi eksistensi dan partisipasi rakyat dalam proses politik ( ..siapa memlih siapa untuk jabatan politik; apa perintahnya dan siapa yang memerintah kepada siapa…). Selanjutnya, ditegaskan dalam materi konstitusi, yakni kedaulatan  berada di tangan rakyat ( pasal 2 UUD 45 ) dan pelaksanaannya diatur dalam paket UU tentang Pemilu, UU Partai Politik dan Susunan – Kedudukan  Lembaga Legislatif dan Eksekutif . Pagar kekuasaan ditegaskan lagi bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum  (pasal 3 UUD 45.

Jabatan eksekutif tertinggi dalam pasangan Presiden dan Wakil Presiden- pun musti dipilih langsung ( sebelum diamandemen UUD 45, mereka dipilih secara tidak langsung melalui MPR ) dapat dibaca pada pasal 6 UUD 45. Begitupun anggota DPR/DPRD semuanya harus dipilih  ( pasal 19 ayat (1) UUD 45) melalui Pemilu lima tahunan. Bedakan dengan rezim pra reformasi, mereka diangkat semua (Orde Lama 1959 -1971) dan sebagian diangkat dan sebagian lagi dipilih (Orde Baru 1971-1999) dalam Pemilu “seolah-olah” demokratis.


Derajat partai politik yang pernah Berjaya ( November  1945 – Juli 1959), namun terperosok layu -  kecuali PKI  - sejak Dekrit Presiden  5 Juli  1959  hingga  1999 melalui pengkebirian demokrasi dan pemasungan partai politik , rupanya bangkit lagi dan merajalela sepanjang  hamper dua dekade ini. Hal ini terjadi mengingat  legalitas partai politik  dalam percaturan kekuasaan Negara dikuatkan : Setiap anggota DPR/D Provinsi, Kabupaten-Kota harus dipilih  melalui  partai politik (pasal 22 E ayat (3) UUD 45 dan Peserta Pemilihan Umum adalah partai politik, begitu juga Pemilhan Presiden. Sedangkan dalam Pemilukada, kendati dimungkinkan kepersertaan perorangan, namun partai politik tetap sebagai “kendaraan” atau melalui partai politik.
Jadilah itu sebagai realitas hokum positif yang menguatkan keberdayaan partai politik. Eksistensi partai politik  menjadi kebutuhan  dan terpenuhi oleh konstitusi. Kabar berikutnya adalah  barisan politisi kian panjang dan mengular yang berhimpun di aneka partai politik  seperti jamur di musim hujan.
Antara Harapan dan Kenyataan Politik : Memilukan



Struktur  kelembagaan  berdasar hokum di Negara kita yang merupakan idealisasi di atas ternyata menghadapi realitas yang jauh panggang dari api. Bermasalah juga, rupanya. Bukan saja  ditumbuhi praktek politik yang liar dan menyesatkan, namun sejak awalpun terdapat pendapat yang seakan menyerah kepada tuntutan sosiologis semata. Padahal, politik dalam nilai dan kelembagaannya dituntut untuk  menghela, merekayasa kearah nilai “apa yang seharusnya” dan “  status dan peran Negara” sebagai lembaga yang sudah selayaknya mengemban pencapaian nilai-nilai itu. Siapa yang memperoleh, kapan dan bagaimana ( Harold Lasswell) sebuah kebijakan umum diputuskan oleh para politisi dengan kacamata fungsionalisi politik , tentu akan memicu persaingan dalam peraihan kekuasaan dengan konflik yang menyertai ( meskipun perolehan  konsensus sebagai jeda-nya  ).


Konflik, konsensus dan perubahan  selalu menyertai proses politik . Di sana melibatkan berbagai individu dan kelompok yang “berkelahi” saling berebut kepentingan dengan perjuangan masing-masing. Pertentangan terjadi  di tengah perlintasan aspirasi sektoral dan ego regional, jika sekarang diyakini kian membanjiri proses politik di negeri ini, maka sesegera mungkin dicari dan diformulakan mekanisme  atas kesepakatan bersama.Oleh karena itu dibutuhkan  kesadara politik dan berpolitik yang baik dan benar; pula, bagaimana para politisi memberdayakan itu semua.


Untuk mengembalikan kepada konstitusi, sebagai rangkaian nilai di mana kita berdiri dan kemana kita berangkat meraih tujuan bersama, pernah Bung Karno yang agak kurang sabar terhadap  “ kejelimetan “ kaum jurist yang kaku dan bertele-tele , mengutarakan kritiknya terhadap konstitusi :” Ya, benar konstitusi kita ialah konstitusi yang dibuat untuk keperluan manusia Indonesia yang sedang berjuang, dan tidak manusia Indonesia untuk keperluan konstitusi”. Tentu tidak sepenuhnya pendapat Bung Karno itu salah, karena tuntutan konstektual semasa era serba revolusioner. Namun desakan realitas terhadap idealisasi sejumlah keharusan structural akan tidak mungkin dipenuhi begitu saja, apalagi hokum dan perangkatnya di dalam konstitusi itu memang dibebani kewajiban membimbing rakyat kearah nilai keadilan, perlindungan hak-hak asasi manusia, kesejahteraan , perdamaian dunia..dan seterusnya yang di sana membutuhkan konsistensi ndan sejumlah konsekuensi atas setiap tindakan atau kebijakan publik yang butuh  kebersamaan.

Artinya, jika sebagian besar anggota masyarakat belum memadai kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara, maka akibatnya proses politik akan terhambat.Partai politik akan menyesuaikan dengan pasar, melayani permintaaan atas apapun penawaran. Perlawananterang-terangan dan diam-diam (apatis) bersama –sama mengacaukan. Simpati, empati dan bermuara pada partisipasi politik  tidak tumbuh, justru sebaliknya merangsang perlawanan berkat dukungan komunikasdi hoax yang mendistorsinya.


Di lain sisi, sosialisasi politik kian macet karena persepsi yang distorsif  sebagai akibat fakta kerusakan politisi dalam menjalankan aktivitasnya. Korupsi meluas dan mendalam, meringkus para politisi DPR RI dan DPRD bersama politisi eksekutif dan birokrasi mendukungnya. Kualitas  dan  kuantitas tindak pidana korupsi, bukan saja pada muara kebijakan yang eksekutorial namun juga sudah dikerjakan pada hulu perumusan rancangan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, tidak aneh bila terjadi jua-beli pasal dan ayat, transasksi dukungan administratif. Proyek bedebah dan sumpah serapah langsung menyerbu media social sebagai kanalisasi hak bersuaranya rakyat, tak dapat dicegah lagi.


Kekotoran perbuatan politisi, kini semakin panjang daftar verifikasi untuk terus dipublikasi. Politik dituduh kotor, jahat ..dan untuk apa berpolitik ?  Harus diakui, bahwa kekotoran politik dalam praktek memang terjadi sejak perumusan  kebiajakan sampai penerapannya di lapangan, namun adil dan benarkah  menuduh keberadaan politik itu selalu kotor. Kemudian berpolitik itu tidak diperlukan lagi ? Tegas harus dijawab : T i d a k !!! Mengapa ….karena politik itu netral, bisa kotor , bisa juga tidak Contoh dari mana politik yang kotor atau tidak kotor, bisa dicarikan contohnya. Antara lain, mengizinkan pembangunan mall/hotel/pabrik di Ruang Terbuka Hijau yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah adalah politik kotor, namun membuka kesempatan kerja atau modal tanpa membedakan suku,agama,etnisbagi pencari kerja atau modal bagi usahawan menengah/kecil adalah politik yang tidak kotor. Banyak contoh lainnya



Jadi, politik yang kotor  dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan, norma susila dan agama. Pendorongnya adalah kerakusan, kkepentingan sesaat demi pribadi atau kelompok serta gagal memahami keadilan..Oleh karena itu hokum menjadi penting untuk mencegah dan menindaknya dala upaya penegakan hokum, termasuk sejak hokum itu dirumuskan dalam pasal dan ayat pada sebuah UU, PP,Perda dan seterusnya. Dengan demikian inti masalahnya bukan pada politik dan politisinya  memang pasti kotor, melainkan adalah pada kecenderungan akan kotor itu potensial dan laten. Masalah berikutnya adalah bahwa berpolitik itu bukan serta merta tidak kekanan atau kekiri; memilih atau tidak memilih, namun keapatisan itu sendiri adalah berpolitik juga akhirnya. Sikap apatis, putus asa dan mencela ke-kanan, kekiri  bukankah juga bersikap yang selemah-lemahnya sebuah sikap ?


Sampailah pada asumsi: Manusia sebagai zoon politicon hendaknya dianggap baik ketika masih bayi, tetapi manusia dapat berbuat baik dapat berbuat buruk ketika beranjak dewasa, apapun latar belakang agamanya, ras, suku dan status social ekonominya….dari sekedar asumsi “ manusia  pada dasarnya baik, tergantung pada semangatnya saja “. Untuk itulah hokum dibutuhkan. Untuk itu maka politik bekerjadalam perumusan kebijakan publik dalam mengalokasikan, mendistribusikannya secara bertahap dan berkelanjutan.


Normatif yang mengharuskan memang tidak mudah menghadapi sosiogis apa yang senyatanya terjadi. Pasangan ketenteraman dan ketertiban; kepentingan umum dan pribadi; local, nasional berhadapan dengan globalisasi yang internasional; kebutuhan kelompok atau partai politik dan nasional yang melingkupinya  seakan dua sisi mata uang yang saling menggantungkan dan membutuhkan. Pasangan nilai dan aksi yang selalu tarik menarik dan bersitegangan. Itulah, mengapa akhirnya suatu keseimbangan memang sebuah pencarian yang tiada berujung.



Kendati seolah tiada berujung, namun siapapun yang hidup dalam Negara, suka atau tidak, langsung atau tidak langsung, apapun hajat hidupnya agar terpenuhi, bagaimana dan kapan terpenuhinya, dalam posisi apapun, dipastikan tidak bisa menghadiri dari camprtangan politik. Pusaran politik   tak bisa dihindari ketika sungai kenegaraan dan kemasyarakatan masih mengalir sampai jauh dilembah dan gunungnya  politik berproses menuju lautan peradaban. (Jsp)


------------------------------------------- radiopanjakarta--------------------------------------   

No comments:

Post a Comment