Presiden R.I Joko Widodo dalam sebuah kesempatan menyambut, melontarkan pernyataan : Politik itu dipisahkan dari agama. Pernyataan ini mungkin saja akan biasa dan memang sering biasa kita dengar dipidatokan oleh tokoh politik non Islam, bahkan diobrolan warung kopi juga diomongin sambil menyindir.
Rasanya pernyatan bahwa politik ya politik...dan agama ya agama, kurang menarik untuk disajikan sebagai pembahasan ketika politik dan para politisinya memang tak tertarik lagi berideologi. Menjadi seonggok kebasian, ketika politik uang dan politisi harus berjuang memburu uang untuk mengamankan langkah-langkah politiknya. Tidak aneh kemudian terjadi korupsi memviral dan menjadi-jadi membakar semangat kompetisi: Ayo siapa berani...lebih besar jumlah rupiah dan dollar yang dikorupsi.
Serasa melintasi padang yang tandus dan begitu jauh yang terjal di sebuah negeri yang tidak dikenal lagi, kini para politisi menyanyikan lagu mars jauh dari tuntunan ideologi. Terdengar di mana-mana lagu yang berirama sederhana dan langsung terasakan: Korupsi dan bermewah diri.
Oleh karena itu wajar jika pernyataan presiden itu dianggap tak perlu ditanggapi. Ideologi ? Ah, itu sudah menjadi sejarah. Hampir tak ada yang menangkis tuduhan serius tentang perintah: Pisahkan politik dari agama. Sejumlah tokoh partai politik memilih diam, tentu dengan pertimbangan masing-masing. Sejumlah akademisi politik juga menepisnya saja. Habis perkara, begitu kira-kira.
Seorang politisi yang pada dewasa ini bisa dikatakan telah menua dan sering dituduh pikun oleh lawan-lawan politiknya dan bahkan menyuruhnya di rumah saja, sebut saja AMIEN RAIS yang tampil dengan menyalahkan statement Joko Widodo Sang Presiden R.I. Amien menyangkalnya dengan pembelaan terhadap agama: Kalau politik dipisahkan dari agama, politik akan menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan. Akan menjadi bahaya. Akan menjadi eksploitatif ( Amien Rais diberbagai media, 27 Maret 2017 ).
Pernyataan Jokowi itu pasti sebagai justifikasi terhadap nilai-nilai sekulerisme yang diimpor dari Barat dan menjadi jargon politisi Indonesia pada umumnya. Sejak pra kemerdekaan, 1945 1965 dan sesudahnya hingga dewasa ini. Begitulah pembenaran diproduksi untuk.menghentikan moralitas politik bernafaskan Islam yang selama ini dipedomani oleh partai politik dan organisasi massa Islam.
Justifikasi atau malahan indokteinasi itu mungkin betul dan sah bila diarahkan kepada agama non Islam. Lihatlah, sejarah dunia khususnya pra, pada dan pasca Revolusi Perancis 1789 yang melahirkan sekulerisme gara-gara kolusi Gereja+ Bangsawan ( sipil dan militer) di atas feodalisme yang menjadikan Kristen Katholik menjadi agama negara dalam lingkup negara berdasarkan ke Tuhanan. Dari sini mengalirlah paham, bahwa negara atau politik harilus dipisahkan dari agama.
Berbeda dengan agama Kristen Katholik atau yang senada dalam melihat posisi politik di dalam agama kemudian melahirkan sekulerisme itu, maka Islam tidak pada tempatnya diposisikan sama dengan agama -agama yang mendahuluinya.
Namun bukan berarti Islam serta merta menyediakan formula hukum yang siap pakai dalam mekanisme bernegara dan berpemerintahan. " Menyatakan bahwa Islam hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual , tanpa sangkut paut sama sekali dengan masyarakat dan negara, mungkin sama jauhnya dari kenyataan bahwa Islam telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan terperinci. Hukum Islam, syari'ah dalam dua sumber sucinya - Al Qur'an dan Sunnah - , tradisi lisan dan tindakan Nabi Muhammad saw - bersifat permanen, tetapi aturan legalnya yang langsung bersifat terbatas ; pada saat yang sama, turunan-turunan intelektualnya (sebagaimana ditunjukkan dalam berjilid-jilid karya Fiqh) dan kumulasi tingkah laku masyarakat Muslim sepanjang abad dan ditempat- tempat yang berbeda ( seperti yang ditunjukkan sejarah ) bisa berubah dan luas cakupannya. Demikian pendapat Fathi Osman yang melanjutkannya...
Kedua bagian itu kadang-kadang bercampur dan membingungkan, bukan saja dalam.pandangan beberapa pengamat dan sarjana non Muslim, melainkan juga dalam pandangan beberapa jurubicara Islam.yang bersemangat.
Dalam hubungannya itu, Munawir Syadzali dalam disertasinya ISLAM dan TATA NEGARA Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, menegaskan: ......kiranya cukup bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita mengikuti aliran ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada satu sisi tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, aliran yang percaya dalam Islan terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika kehidupan BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA ( huruf besar dari penulis jsp/radiopanjakarta ) seperti yang kita temukan dalam Al Qur'an, yang memiliki kelenturan dalam.pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antarq satu zaman dngan zaman lain serta anatara satu budaya dengan budaya lain, demikian pendapat Munawir Sadzali, mantan Menteri Agama R.I ( 1988 - 1993 ) yang M.A nya dari Georgetown University dan mengajar Al Fiqh al Siasi di IAIN Syarif Hidayatullah ( kini UIN Jkt ).Almarhum ini dilahirkan di Klaten, 7 Nov 1925 adalah alumni Mambaul Ulum Solo dan aktif di Hizbullah Jawa Tengah sebelum ditarik oleh Mr. moh. Roem ke Dinas Luar Negeri.
Banyak pendapat senada dengan di atas, khususnya yang menyangkut praktek politik di Indonesia yang beragam suku, agama dan ras serta unik atau khas ini. Maka dari itu, memisahkan agama dari politik, buat Islam adalah pendapat yang sembrono dan ahistoris. Amien Rais dalan tulisan: MOHAMMAD NATSIR, PEMIKIR -NEGARAWAN menegaskan bahwa dengan konstitusi kita yan sarat dengan nilai-nilai agama, rasanya kita tidak akan terjebak kedalam demokrasi bohong-bohongan seperti yang kita saksikan di panggung dunia sekarang. Rasisme, pencucian etnis, hedonisme, immoralisme, imperalime ekonomi dan kolonialisme telanjang atas nama demokrasi telah membawa kemanusiaan di awal abad 21 kepada kesengsaraan yang makin luas. Mantan Ketua MPR RI ini menambahkan jasa -jasa-jasa para pendiri negara dari kelompok Islam, diantaranya dari Masyumi yang antara lain Pak Natsir itu.
Itulah maka dalam konstitusi kita menyelinap KeTuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita, sebagai petunjuk bahwa politik di Indonesia mengakui agama ( dalam hal ini Islam ) menjadi penuntun, bukan malah dipisahkannya. Ini sebagai keunikan demokrasi dan politik dalan arti luas yang tidak.bisa meninggalkan Islam sebagai nafasnya. Bisa ditambahkan bahwa penambahan " Yang Maha Esa " pada Ke Tuhanan itu diperjuangkan oleh Ki Bagus Hadikusumo ( Muhammadiyah ). Sebab, kata Ketuhanan dari Pancasila ( pidato Ir.
Sukarno 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI ) akan berbeda makna hakiki maupun syar'inya, jika tidak diamandem oleh Ku Bagus Hadikusumo itu. Dari beliau ditegaskan bahwa Ke Tuhanan Yang Maha Esa itulah Tauhid...yang tidak dibantah oleh Mr. Teuku Mihammad Islam, Bung Hatta termasuk Bung Karno sendiri.
Dengan demikian, dari mana asal dan tujuannya pernyataan Joko Widodo ingin memisahkan politik dari agama, padahal Pancasila itu merupakan kesatuan atas sila-silanya yang lima itu dengan Ke Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Apakah KeTuhanan Yang Maha Esa harus dibuang atau dipreteli sehingga berarti sholat, kebaktian dan ritualistik semata. Islam dan kami sebagai Muslim menolak pernyataan yang sekuleristik itu.
-------------jsp----------------
No comments:
Post a Comment