Di tengah perjalanan Indonesia, aku ingin kukabarkan tentang ibukotamu: Jakarta. Untuk diketahui, mengingat lima hari mendatang ini sejarah Jakarta akan ditentukan, kemana dan akan jadi apa ke depannya.
Di negeri yang cantik dan mempesona, dengan 17 ribu pulau, 729 suku bangsa dan 200 an bahasa lokal, hampir semuanya terwakili dan berdomisili di Jakarta.
Jika penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, maka ibukotamu dihuni 10 juta jiwa yang hanya seluas lebih kurang 660 kilometer persegi. Untung disangga Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang....bahkan kini sampai Rangkasbitung ke barat, Purwakarta ke timur, Sukabumi ke selatan dan katanya reklasi sekian pulau ke utara ( ? ).
Daya dukung Jakarta sebagai ruang dan wilayah yang tertata amat mencemaskan, kemacetan dimana dan kapan saja. Belum lagi banjir dan kelangkaan air bersih dan comberan di mana-mana. Ada usaha menatanya, ada upaya yang diayunkan. Tetapi terselip pertanyaan, nanti untuk siapa Jakarta ini ?
Di Jakarta utara, penduduk usia sekolah masih 60 % tak menikmati sekolah dasar ( 6+3 ), belum lagi urbanisasi tak bisa dicegah juga. Pengangguran mengancam kaum muda, narkoba mengintip tak malu-malu meracuni generasi muda. Kaum lansia lebih meninggalkan kota, karena tak tahan bagaimana nantinya. Anak-anak mesti ekstra menjaga karena bahaya dari tingkah laku menyimpang dan kekurangan kasih sayang orang tua yang sibuk dan waktunya untuk memburu nafkah semata.
Prediksi pertumbuhan ekonomi memang lumayan, di atas 5 %. Tetapi ketimpangan sosial membebaninya, bayangkan rasio gini 0, 51 berarti banyak yang miskin ketimbang yang kaya atau cukupan kesehariannya.
Indonesia....., sebagaimana kamu juga, maka Jakarta kota terbesar dan ibukota negaramu berasal dari warisan kelola Belanda dan Jepang yang mewarisi sekian tradisi dan asumsi dan struktur feodal dan masih belajar demokrasi. Yang ada hanyalah sistem dan struktur Negara Polisi. Hidup dalam ancaman, dan mentaati hukum karena ketakutan.
Budaya membaca amat tipis, kecuali ber WA ria sekedarnya. Kemiskinan membayangi, terpaksa dibiasakan dengan kekuasaan yang otoriter, asal bapak senang dan paternalistik. Itu menyulitkan juga bagi posisi pemimpinnya untuk bertanggung jawab sepenuhnya.
Di Indonesia, juga Jakarta...yang melek politik masih terbatas. Walaupun para politikus mengaku demokratis, namun budaya perkotaannya kadang menjadi tinggi hati dan melupakan akar kedaerahannya. Mereka menjadi budak peradaban Barat dan menganggap agama menjadi penghalangnya.
Dalam situasi dan kondisi semacam itu, tanaman demokrasi perwakilan dan.permusyawaratan sulit tumbuh. Adanya kemudian adalah memanipulasi demokrasi kearah oligarki atas nama uang, kuasa dan wanita.
Namun masih ada harapan, agaknya penduduk Jakarta terutama yang muda mulai tercerahkan dan bisa diandalkan. Mulai lahir tokoh dan.pelopor reformasi yang cakap dan beradab. Kendati harus diakui, masih cukup banyak.penduduk yang miskin, kurang sehat dan berpwndidikan minim dan tidaak suka membaca, tetapi kadang ngawur dalam pembicaraannya.
Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pemerintah daerah mulai di Balaikota sampai ke kelurahan yang lebih dari 447 jumlahnya itu, kadang masih diragukan kecakapannya, masih korup, paling tidak suka menerima hasil korupsi bekerja sama dengan sementara para anggota DPRD yang terhormat. Namun yang menggembirakan, penegakann hukum.menguat dan demokrasi dengan kesungguhan dibela dan diperjuangkan warganya. Indonesia dan Jakarta penuh dengan masalah-masalah besar dan harapan-harapan mulia, ditengah banyak juga politkus tak bisa diandalkan, bahkan setengah bodoh dan kurang pintar tetapi sombong dengan mustifikasi kosong dan janji bertubi-tubi.
Sepekan mendatang ini Jakarta akan menentukan siapa yang bakal memimpin lima tahun di depannya. Akankah gaduh dan meracau dengan pemimpin yang memprovokasi pendusuknya sendiri. Sering mengaku sebagai pelayan rakyat, tetapi ternyata bersendagurau dengan konglomerar dan meralat ruang Jakarta untuk kepentingan yang menghancurkan lingkungan hidup dan menggusur penduduknya. Akankah dipimpin oleh orang yang tak peka terhadap suasana keagamaan penduduk Jakarta dan Indonesia, tetapi kebal hukum dan dibela alat negara.Seharusnya penduduk Jakarta ingin lebih tenang dan tenteram gara-gara ucapan dan tingkah laku pemimpinnya yang jumawa karena dibela orang-orang kaya dan penguasa di atasnya.
Masa depan kota Jakarta, Ibukotamu Indonesia, akan tidak kurang peliknya, namun tetap menarik dan penting sebagaimana sejarah berdirinya oleh Fatahillah dan proses pertumbuhannya sampai kini.
Dari sekian syarat, memperbaiki infrastruktur transportasi, penawar banjir dan hunia yang modern jangan melupakan deretan kampung dan penghuninya.
Hormati.masing-masing keyakinan dan ajak membangsa dan menegara. Salah satu syaratnya, berikan orang-orang Islam atau kaum muslimin dan.muslimatnya ini, ruang yang terbuka untuk ber Islam dalam beribadah, bersosial, berekonomi dan berpolitik dalam.dasar dan payung bersama : Pancasila.
radiopanjakarta/jsp
No comments:
Post a Comment