PROFIL

Sunday, April 23, 2017

PARTAI POLITIK MASALAH KITA

Jakarta, Demokrasi modern membutuhkan partai politik (parpol). Hampir semua negara, baik kerajaan (monarki konstitusional) yang berparlemen maupun republik dalam kehidupan kenegaraannya yang demokratis, dipastikan parpol hadir di dalamnya. Keberadaan parpol dijamin undang-undang. Ia sebagai institusi dan entitas yang seharusnya terhormat.  


Keharusan itulah yang pada kenyataan di Republik Indonesia, sungguh sedang mengkawatirkan. Padahal, inilah di sebuah negeri yang- barang kali satu-satunya -  keberadaan parpol dicantumkan di konstitusi (UUD 1945 hasil amandemen 2000- 2004). Lihatlah, UUD 1945 pasal 22 E ayat (3): "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik". Lainnya, pasal 6A ayat (2):"Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum".

Dari dua pasal itu, parpol mengakses sekaligus menempatkan perannya dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. Bahkan juga di lembaga negara, juga komisioner negara. Berkat raihan kuasa di DPR yang akan beranak pinak kemana saja. Presiden tidak bisa menganggap lebih tinggi DPR, apalagi meremehkannya. Hal ikhwal sebagai entitas kekuasaan, di era reformasi pasca amandemen konstitusi itu, DPR yang merupakan pengejawantahan tangan kuasa parpol itu merajalela. Apa saja bisa dilakukan.

Jangan membandingkan dengan status dan peran DPR masa lalu, baik pada zaman Soekarno maupun Soeharto. Itu sudah milik sejarah. Lantas, kenapa ? 

Sebagaimana telah menjadi kenyataan yang dikeluhkan, ketika para politikus dari sekian parpol berjama'ah - sengaja atau tidak - menjadi terpidana korupsi. Tapi, parpolnya para politikus "sial" tetap tak terjamah penegakan hukum. Itu satu dari sekian masalah.

Masalah lain adalah menyangkut dalam rekruitmen pejabat politik untuk lembaga negara                        
Tak kalah seriusnya adalah ketika penegakan hukum berjalan, gerilya politik-pun dilakukan oleh parpol.

Mengapa hal itu terjadi ? Salah satu jawabannya adalah karena parpol dalam pengelolaannya tidak dilakukan menurut kaidah demokrasi. Bahkan sudah oligarkis. Meninggalkan aturan yang dibuatnya sendiri.

Apa program parpol ? Bagaimana pertanggungjawaban keuangannya kepada publik (bukan kepada anggotanya saja) ? Apa dan bagaimana rekruitmen pengurus parpol, dan seterusnya sampai penyusunan daftar calon anggota legislatif  DPR RI atau pasangan kerja pemerintah daerah (DPRD Provinsi, kabupaten/kota); pun bagaimana pencalonan presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota beserta para wakilnya masing -masing ?

Itu semua, jika ditanya hanya akan berujung pada satu atau dua atau tiga pucuk pimpinannya saja. Berujung pula pada seberapa kuat dan banyak jumlah uang yang dipunyai oleh para bakal calon tersebut.

Jika itu diperinci, sebenarnya akan kembali pada satu kalimat pendek yang ditafsirkan sesuka hati, yakni : JER BASUKI MAWA BEA. Belilah jabatan politik di negeri ini dengan membayar sejumlah uang yang tiada terkira. Karena itu maka berpangkal semacam itu, jadilah berujung pada uang semata. 

Karena ideologi untung rugi khas dagangan dan sejumlah pedagangnya merupakan pegangan, tentu kualitas mora, integritas, kemampuan.profesional teknis maupun generalis bakal calon menjadi sekedar pelengkap. 

Jika demikian itu halnya, inklusifitas dan fungsi delegasi dalam keikut-sertaan dalam rwkruitmen kepengurusan parpol  adalah tidak penting dan jika perlu dibuang.  

Pertimbangan populeritas itu memang harus dipertimbangkan, namun hendaknya kapabilitas juga penting, karena akan mempengaruhi bukan saja tingkat elektabilitas juga dibutuhkan dalam pendidikan politik kepada rakyat. Jika populeritas itu direduksi sebatas keartisan belaka, maka hal itu juga kurang arif atau bisa jadi menyesatkan apa arti sebuah parpol. 

Inklusifitas kemudian dalam turunan delegasi di daerah, tampaknya sudah mulai dijauhi dengan pembatasan-pembatasan yang mengarah kepada semangat sentralistik dalam komando yang oligarkis, khususnya dari kaum pedagang. Kita tahu bahwa hukum utamanya pedagang adalah untung rugi, konkrit dan berbayar.

Jika itu mendominasi keparpolan - pada kenyataannya memang begitu - maka wassalam harus diucapkan. Dan, anggaran negara menjadi ajang perebutan untuk dan atas nama keseimbangan neraca berparpol itu. Adakah makan siang gratis, saudaraku...begitu pembenarannya.

No comments:

Post a Comment