Jakarta --Semula, diprediksi oleh sementara pengamat politik, bahwa ketiga partai politik (parpol) pendukung AHY pada putaran pertama 15 Februari 2017 - PAN, PKB dan PPP/- akan memindahkan dukungan ke paslon no. 2. Ahok-Jarot. Sebaliknya, Partai Demokrat akan sulit bergabung dengan no.2 karena ditengarai hubungan emosional yang "tidak mesra" antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati.
Jika di runut ketiga parpol PAN, PKB dan PPP...kian jelas sikapnya masing-masing. Terkait dengan PAN yang semula dikawatirkan akan bersatu dengan parpol pemerintah, sehubungan dengan keberadaannya di dalam kekuasaan atau kabinet Jokowi, terbantahkan dengan "keberanian" PAN menjatuhkan pilihan kepada sang penantang petahana Ahok-Jarot. PAN memilih bertransformasi ke paslon no. 3 Anis -Sandi yang notabene adalah didukung parpol di luar kekuasaan yaitu PKS dan Gerindra.
Sedangkan PPP dan PKB, kian mendekatkan dirinya ke paslon no. 2, mendukung Ahok- Jarot. Hebatnya PPP dua kubu bisa bersatu di tingkat elite mendukung no. 2. Derajat dukungan kepada paslon 2 ini kian meningkat ketika beberapa struktur ormas sayapnya NU mengokohkan dukungan yang sama dengan PKB. Jadi di tingkat elite, apa yang terjadi pada kedua parpol berbasis massa Muslim tradisional untuk berseberangan dengan PAN dalam putaran kedua kelak.
Betulkah simetris antara dukungan elite parpol dengan massa konstituennya, khususnya di PKB dan PPP ? Semudah itukah transformasi suara elite dengan arus bawahnya sendiri ? Itulah yang perlu di bahas di sini dan diluar agar memperoleh kejelasan penalarannya.
Kita mengetahui, bahwa publik Jakarta lebih independen. Kepada struktur parpol boleh jadi tumbuh ketaatan, namun sebatas pada para fungsionaris di tingkat provinsi dan atau di lima kota administrasi dan satu kabupaten administrasi. Di tingkat akar rumput, bisa berbeda atau mencari jalan terbaik. Di situlah peran ketokohan atau figuritas di tiap jenjang kepengurusan, khususnya di tingkat kecamatan dan atau kelurahan ...bahkan ditingkat jamaah masjid, RT/RW. Perpecahan transformatif akan terjadi. Khusus untuk PKB dan atau PPP yang dengan basis massa Muslim tradisional hampir sama, tentu ada perbedaan orientasi kepemimpinan. Kaum muslimin yang menyebut dirinya pengikut ahlus sunnah wal jamah (aswaja) di Jakarta (+ Jawa Barat ) jelas berbeda dengan NU di Jawa Tengah dan atau Timur. Di Jakarta massa semacam itu berkerumun di sekitar para habaib, bukan kepada kyai yang kejawa-jawaan. Ada primordial kesukuan juga di sana yang ikut mempengaruhinya. Sebutlah, pengaruh Assafiiyah dan Attahiriyah dan Majelis majelis ta'lim belum tentu di bawah pengaruh struktural PKB dan PPP.
Dilihat dari hasil pilkada Jakarta yang pertama, diketahui bahwa kedua partai itu berhasil.mengumpulkan suara 452.000 ( PPP) + 260.159 = 713 ribuan suara (Pemilu 2014 lalu). Dikaitkan dengan suara dari Demokrat yang 360.929 dan PAN menyumbang 172. ribu, maka perolehan suara dari seluruh koalisi no.1 yang lalu, mestinya mencapai 1, 5 juta suara. Ditambah dari masyarakat non partai dan kemungkinan pelarian dari Golkar, PBB dan lainnya bisa hampir 2 juta. Sesederhana itukah transformasi suara partai terjadi ? Dari hasil penelitian dan survey, ternyata hasil ttansformasi banyak terjadi deviasi. Kendati mekanisme kerja partai dari mesinnya dengan dorongan emosional internal masing- masing parpol itu membantu mendulang suara, namun kisarannya tak mencukupi sampai 60- 70 %. Ada saling melarikan diri dengan prosentase tertentu. Simbolisasi ada di sana dan potensi itu memang ada membantunya. Tetapi peran figur SBY juga besar, entah naik atau turunnya nama figur itu akan berpengaruh selain ketokohan paslon itu sendiri.
Mengamati pada kerja dan prediksi paslon no. 3 dikaitkan dengan potensi tambahan suara dari bekas pendukung no. 1 di atas, tampaknya yang paling besar prosentasenya adalah dari PAN, kemudian disusul demokrat, baru kemudian PPP dan PKB (jika demokrat kembali pada masing-masing anggota, PPP dan PKB Jakarta tidak mudah ditekuk fungsionaris elitenya, kendati disorongkan untuk.mengolah isyu : Demi Jarot, bukan Ahok...tetapi tetap pada nomor yang sama, yakni paslon no. 2 juga ).
Jika dari 996 ribu (17 % dari seluruh suara sah pada putaran pertama) itu bisa berpindah diri ke paslon no. 3 itu 12 - 13 %, maka diharapkan Anies Sandi akan menang dengan asumsi suara paslon 3 utuh dan dengan harapan suara 22, 9 % yang tidak memilih itu lebih dari dari separohnya memilih dan menjatuhkan kepada paslon no. 3.
Bagaimanakah upaya paslon no. 2 pula agar merebut kemenangan. Status sebagai petahana itu lebih strategis dan memudahkan paslon no. 2 bermanuver dengan program menumpang sumber daya aparatur dan pendanaannya sekaligus yang dikemas dengan rapi dan halus. Sayang, pengaruh kasus penodaan agama ikut menjadi duri dengan status terdakwa. Sebesar dan atau sekecil sekecil apapun dari aksi Al Maidah tetap ada pengaruhnya, disamping faktor performance petahana yang tidak stabil emosi dan psikologis dari efek primordial (SARA). Mereka terjunkan kekuatan sumber dana sebesar mungkin, dari internal khususnya fungsionaris yang berjabatan di legislatif dan eksekutif maupun sponsor eksternal dengan kepentingan bisnis dan politik ke depan sebagai investasi politik. PDIP tampaknya sangat dominan ketimbang partai pendukung no.3 lainnya, semisal Golkar, Nasdem maupun Hanura. Apalagi ada agenda tersembunyi, bahwa kelak Jarotlah yang dijadikan DKI 1, maka PDIP kian ngotot dan siapa DKI 2 masih belum.ketahuan baunya.
Tampak persaingan ketat, bisa dilihat beberapa survey yang dirilis poltracking. Radiopanjakarta pada surveynya mencatatkan, bahwa Anies - Sandi 51 % dan Ahok -Jarot 49 % dengan error margin hampir. 5 %. Ini masih memberi.peluang pada kesimpulan bahwa sulit menentukan siapa pemenangnya.
Dengan demikian, sungguh terlalu dini menyimpulkan kerja partai pendukung- semisal PAN- sudah selesai, apalagi untuk sekedar pembenaran agenda lain di internalnya masing-masing. Pilkada ini akan besar pengaruhnya terhadap kerja masing-masing partai menyongsong Pileg dan Pilpres yang dibersamakan itu. Kita sangat naif, bila berasumsi kerja pilkada telah selesai, demi hal-hal lain yang dibungkus dengan kata konsolidasi yang tersembunyi dan berhenti pada jargon belaka. Karena margin error 5 % pada asumsi 51 % lawan 49 % akan mudah patah dengan money boomber ataukah malah sebaliknya ?. Kita tidak.menunggu, kita sedang menyelesaikan pekerjaan itu.
( lihat juga tulisan: JAKARTA SEKALI LAGI MEMILIH dan POLITIK JAKARTA ANTARA ISLAMIS NASIONALIS DAN NASIONALIS RADIKALIS...)Joko Sumpeno - Jurnalis Senior Radiopanjakarta
jsp/ radippanjakarta
No comments:
Post a Comment