PROFIL

Thursday, March 16, 2017

ANTARA BENAR dan SALAH lawan ANTARA MENANG dan KALAH

Jakarta, radiopanjakarta- jsp
-------------------------------
Dewasa ini, difasilitasi oleh media sosial yang kian berani, tumbuh kenikmatan baru. Tak peduli itu melawan perangkap, seakan Tikus yang kelaparan, kenikmatan baru kian menemukan momentumnya dengan daya rusak lumayan, yakni kesukaan menyalahkan pihak lain seutuhnya dan sekaligus membenarkan diri sendiri sepenuhnya. Tuding-menuding, hujat menghujat merajalela. Hebatnya, pasar menerimanya dengan suka-cita.
Menjadi kebutuhan baru untuk mengekspresikan atas nama hak-hak asasi : Kamulah yang salah, akulah yang benar. Tak penting lagi apa itu obyektivikasi, klarifikasi dan semacamnya. Viralkan ...inilah aku.. Siapa sih kamu ? Subyektivikasi mengokupasi obyektivikasi.

Dunia maya dengan media sosialnya menguasai jagat wacana. Seakan itu benar adanya, padahal ?. Perangkap kejumudan dan jahiliah berjubah kecanggihan teknologi informasi relatif berhasil menaikkan ego kelompok untuk saling meniadakan.

Itukah peradaban yang bermutu ? Bermutu atau tidak, survey kemudian bekerja berpacu dengan kaidah perilaku yang dinamis dan parameternyapun semakin rumit. Asas manfaat ( bagi siapa dan mudharat bagi siapa lainnya ) dinobatkan, lebih-lebih adakah goal bisnis dan pemenuhan target materialistik di situ ?.

Proses ahistoriasasi menjadi lumrah. Bedebah dengan sejarah, karena tak mampu menemukan kearifan dalam sejarah itu sendiri. Ketidak mampuan mengunduh file peradabanyang rasional ataupun irrasional namun faktual, pada perjalanan perilaku kelompok akan menemukan kegalauan tak berkesudahan. Jika itu tidak segera diatasi, maka kemapuan menemukan keseimbangan pada setiap orang atau rezim akan gagal. Hasilnya tak akan jauh lagi dari pembenaran sepihak dan penyalahan sebelah. Mustinya kita terus mencari, bahwa setiap orang atau rezim itu ada benar, juga ada salahnya, baik pada kurun maupun periodisasi tertentu.

Relativisme pada jiwa-raga kemanusiaan dan prestasinya itulah pengakuan yang jujur di hadapan Absolutisme yang illahiyah dan konstan denhan sepenuh konsistensinya. Konsep semacam itu yang seharusnya merangsang asumsi-asumsi berikutnya, bukan mengambil sebaliknya.

Jadi, siapapun, kapan dan di manapun akan membutuhkan kejernihan berpikir, bersikap dan bertindak agar mampu jujur terhadap diri masing-masing dalam proses pencarian sebuah nilai: Keberlakuan apa yang dikatakan lebih penting ketimbang siapa yang mengatakannya.

Berbeda dengan paradigma keilmuan atau kapujanggan yang mendudukkan ketidak bohongan adalah prima causa, maka dapat diduga bahwa kekuasaan tak dapat dijauhkan dari kebohongan, tipu-menipu untuk dan atas nama sebuah kemenangan mengatasi kekalahan. 

Eksistensi kekuasaan berdasar pada kemenangan dengan derajat bertingkat-tingkat. Hanya karena itulah maka tak akan tereliminasi status dan peran kekinian bahkan perlu berlanjut ke depannya. Di sana kepentingan serba arah berkompetisi.

Terdapat kesamaan antara keberlakuan senyatanya benar-salah dan menang-kalah adalah tidak mengenal  bangsa dan pemeluk agama yang dianut.  Pacuan antara apa yangvseharusnya dan penerimaan terhadap apa yang senyatanya terjadi, seringkali tidak mudah, bahkan bisa mengundang kegaduhan demi kegaduhan.

Kemenangan selalu mendesakkan subyektivikasi yang tinggidan merwndahkan obyektivikasi. Intimidasi, teror adalah jalan utama dan sebagai pembenaran bagi keberlakuan kaidah pemenangan. Sopo siro sopo ingsung ( siapa kamu dan siapa aku..atau emangnye lu siape ) akan memproduksi kesombonhan Adihang,vAdigung, Adiguno (kamu.nggak nurut, nggak tertib siaplah aku akan habisi, aku.menjadi sok ) sungguh merupakan pengejawantahan yang sempurna dari Akulah segalanya dilengkapi kedinastian dan trah feodalisme baru. Ancam-mengancam, penggiringan  adalah panduan praktis bagi upaya meraih kemenangan. Aku ada dan kamu tidak perlu ada, diamalkan karena sejumlah ambis sekaligus rongrongan ketakutan.

Kemenangan atau kekalahan memang dikhotomis dan berakar pada.peniadaan liyan.

Kekalahan sebenarnya akan memberi makna pada kemenangan, jika mau belajar dari sebuah ekosistem yang saling menggilirkan. Namun pembelajaran kepada kearifan semesta alam, sering diabaikan. Justru kemenangan  akan menjalankan penyudutan dan penyempurnaan kehinaan selama mingkin. Ungkapan pembelaan sambil penakutan ke pihak yang dituntut mengikuti kemenangan, kadang lucu dan kekan
ak-kanakan : Kalau bukan karena aku, kamu itu bukan siapa-siapa. Ittukah logika kemenangan yang akan mendudikkan toyaliter ? Tirani pula akan menemaninya. Tidakkah perlu diketahui, bahwa kemenangan dan kekalahan hanyalah soal pergiliran, siklus yang gilir-gumanti. Saling berganti pada waktu tertentu saja.

---------------------- jsp--

No comments:

Post a Comment