Jakarta -- Fadhi Salim - Wakil Direktur radiopanjakarta.com Kedua orangtuanya, asli berasal
dari Loksomawe, Aceh Utara. Tapi dia sendiri, kelahiran Jakarta 17 November
1969. Tiga strata pendidikan dasarnya, dia lalui di kampung milik si Jampang ini.
Bahkan, bangku kuliah pun dia tempuh juga di Jakarta ini. Universitas Borobudur
menjadi pilihannya saat menimba ilmu di bangku kuliah dan Ekonomi Akuntansi
adalah jurusan yang dia pilih. D3, dia selesaikan pada 1992 dan S1 tuntas pada
2003.
Sekilas, Tampilannya yang serius
dan pendiam, membuat kita segan buat
bicara dengan dia. Namun jika kita bicara dengan dia, malah kita seakan lupa
akan waktu. Lantaran, terus terbawa aluran cerita atau obrolan yang dia
tampilkan. Nyaris, semua tema masalah dia bisa ikuti sehingga dari kedua
bbirnya alur kata pun mengalir ibarat air mengalir menjadi kalimat-kalimat
jernih yang mudah dipahami dan mudah dicerna.
Suami dari Siti Komalasari
(Garut-Sukabumi) dan bapak tiga anak dari Phonnatari Keumala Putri, Aska M
Muntas, dan Fatihir M Munkas ini adalah Fadhil Salim. “Tak ada catatan khusus
prestasi sepanjang saya menempuh dunia pendidikan. Hobi saya, olahraga catur
dan membaca, terutama sastra,” tegasnya.
Namun mulai dari buncah euphoria
Reformasi-lah, Fadhil mengaku banyak catatan khusus menyertai perjalanan
hidupnya. “Terus terang, saya mengagumi sosok tokoh Amien Rais. Lantaran, saat
itu, tak ada seorang tokoh politik pun yang berani secara terang-terangan
menentang kepemimpinan Soeharto. Karenanya, saat Amien Rais mendirikan Partai
Amanah Nasional pada 1999, saya langsung gabung dan menjadi kader PAN,” ucap
karyawan PT Mas Aji Prayasa Cargo, yang bergerak di international freight
forwarder transportation carga di Cilincing, Jakarta Utara ini.
Penggemar olahraga otak ini pun
membuncah harapannya, kalau Bangsa ini masih memiliki peluang untuk bergerak
maju dan lebih baik lagi di lima tahun ke depan pascareformasi. “Ya, saya
melihat peluang itu di depan mata. Segala sesuatu yang biasanya enggak mungkin,
dapat terlaksana. Lancar, tanpa ada kekangan dan hambatan. Apalagi politik
sudah bermain, apa pun bisa terjadi ke depannya. Sebab, secara teori, politik
itu diterapkan untuk mencapai keadilan hukum dan kesejahteraan ekonomi bagi
rakyat.
Lima tahun, ternyata hanya
sejengkalan waktu. Hingga kini, buncah harapan itu tidak juga lekas terwujud.
“Saya melihat, wujud euphoria reformasi itu malah kebablasan. Kepentingan
individu dan kelompok, lebih mengutama ketimbang kesejahteraan dan keadilan
bagi rakyat sebagai tujuan utama dari politik itu sendiri,” ungkap warga
Prumpung
Tengah No 25, Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur ini sambil menarik panjang napasnya.
Tengah No 25, Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur ini sambil menarik panjang napasnya.
Secara jujur, dia menyayangkan
kondisi tersebut dapat terjadi di Bangsa ini. Padahal, Bangsa ini terkenal di
jagad pergaulan sangat santun dalam berpolitik dan murah senyum. Ibarat
permainan sepakbola, sebuah peluang sudah terbuka untuk mencptakan gol
kemenangan, namun tak ada sentuhan akhir yang menyelesaikannya. Malah muncul
beragam pelanggaran, yang membuat sang wasit pun tak segan untuk
menggelontorkan kartu kuning di tengah-tengah permainan. (one)
No comments:
Post a Comment